Oi, Bangun Desamu……



https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b8/Ogi_Shirakawa02bs3200.jpg
Suatu kali saya mendengar komentar seorang pengamat ekonomi soal pembangunan desa. Saya bisa menghitung ia beberapa kali ia menyalahkan pemerintah.
Desa tidak maju karena pemerintah.
Arus urbanisasi tinggi dari desa ke kota karena…pemerintah
Penduduk di desa terbelakang karena…pemerintah
Dst
Dst
Padahal, mengapa desa tidak maju-maju, karena orang yang punya desa tidak perduli.
Setiap kita pasti memiliki desa, entah karena kita lahir di desa atau karena orang  tua atau nenek kita bahkan buyut kita berasal dari desa. Sehingga sudah harusnya kita bertanggung jawab atas kemajuan desa kita.
Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk buat desa kita maju?
Sederhana. Jika Anda punya uang, kirimkan ke desa Anda melalui keluarga Anda agar uang yang beredar di desa meningkat. Atau investasilah disana. Biayai usaha keluarga Anda entah itu membuat kerajinan, membuka warung  dsb.
Jika Anda punya jaringan yang luas, pasarkan hasil desa Anda, atau carilah investor untuk desa Anda.
Jika Anda punya pengetahuan dan keahlian, berkunjunglah ke desa Anda lalu bagikan pengetahuan Anda. Sederhana bukan?
Jadi untuk membangun desa Anda tidak perlu melakukan hal yang muluk-muluk. Cukup membagikan Anda yang Anda miliki tanpa harus menunggu campur tangan pemerintah (@anwaradnan)

Mengapa Saya Mendukung Bapak Jokowi Walau Harus "Melepas Baju"


http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/889093/big/081547600_1432962421-IMG-20150530-WA002__1_.jpg
Suatu kali saya pernah bertanya, mengapa  Anda mendukung Bapak Jokowi sebagai presiden?
Tentu pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, karena saya dianggap orang kuning dan bukan orang  merah. Kedua, bukankah Bapak Jokowi hanya seorang mantan seorang Walikota yang dalam struktur pemerintahan lebih rendah posisinya dari seorang Gubernur.
Tapi dalam konteks kehadiran Bapak Jokowi, saya menyadarinya sebagai sebuah  perubahan dalam kepemimpinan Indonesia. Selama lebih dari 3 dekade, bahkan lebih, Indonesia berada di bawah kepemimpinan tokoh militer. Saya harus akui bahwa sosok militer disukai karena ketegasannya, kemampuannya dalam mengorganisir, mampu mengambil keputusan cepat dan nasionalismenya tidak perlu diragukan karena para pemimpin militer telah didoktrin sebagai para pembela negara. Dan begitu juga kesan yang ada di dalam benak masyarakat Indonesia.
Namun dengan berkembangnya waktu rakyat Indonesia mengalami banalitas terhadap atribut-atribut kepemimpinan. Masyarakat Indonesia mengalami dinamika preferensi. Terutama saat banyak pemimpin yang menampilkan diri sebagai pribadi yang penuh kharisma, kewibawaan lalu gagal memimpin sebuah daerah dan tidak jarang  berakhir di tempat yang tidak seharusnya. Pola pembangunan ekonomi dari para pemimpin ala aristokrat kemudian juga dirasa kurang memberikan perhatian pada sisi manusiawi. Pembangunan hanya bernilai fisik dan angka.
Orang Indonesia mulai berpikir realistis untuk tidak lagi bermimpi untuk memiliki seorang “raja”, atau seorang dewa dari khayangan dengan segala kemegahannya. dininabobokkan dengan dongeng raja dan permainsuri yang cantik. Masyarakat Indonesia mulai mengharapkan kehadiran seorang pemimpin yang mengambil wajah rakyat jelata. Seorang pemimpin yang bukan memisahkan melainkan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, dan merepresentasikannya.
Sehingga  pemimpin Indonesia tidak sekedar sosok yang merakyat melainkan juga menjadi pemimpin yang mampu membangun manusia yang bermartabat

Dalam konteks demikian Bapak Jokowi kemudian hadirLalu menawarkan diri sebagai sosok pemimpin yang pure human.
Ia bersahaja? Ya.
Ia merakyat? Ya.
Ia tegas? Ya.  

Ia melakukan perubahan? Ya.  

Ia mengambil keputusan secara cepat? Tentu saja

Dan kebijakannya memberikan ruang yang luas pada sisi manusia sebagaimana ia buktikan ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Khalayak yang sudah nyaman dengan kemiskinan ia pindahkan dari kawasan kumuh meskipun dengan penolakan. Namun mereka dimanusiakan dengan menempati pemukiman yang layak dan tidak lagi menghirup bau amis dari air yang bersumber dari pinggir sungai atau waduk.

Lebaran Sosiologis dan Lebaran Spiritual



http://ehookcrook.com/wp-content/uploads/2015/09/Download_Eid_Mubarak_Images_HD_20151.jpg
Setiap orang dewasa memiliki pengalaman lebaran yang penuh makna. Ya, saya masih bisa mengingat bagaimana saya merasakan kegembiraan saat merayakan lebaran. Ada makan yang lezat. Bercengkrama bersama sanak saudara.  Ini adalah memori masa lalu yang saya yakin tersimpan dengan rapi dalam alam bawah sadar setiap orang yang merayakan lebaran setiap tahunnya, sehingga hari penuh suka cita tersebut selalu dinanti dengan penuh kegembiraan.
Dahulu pengalaman ini saya anggap sesuatu yang biasa. Namun ketika saya beranjak dewasa bahkan menjadi sepuh, keinginan mengalami pengalaman lebaran yang penuh kebahagiaan semakin besar. Momen tersebut menjadi sangat bermakna. Waktu yang paling berharga adalah saat bisa berkumpul bersama keluarga. Apalagi dengan kesibukan saya sebagai pejabat negara waktu bersama keluarga menjadi sangat langka.
Bagi saya lebaran adalah sesuatu yang indah ketika seolah melahirkan kegembiraan yang sama seperti saat ayah saya memberikan pakaian baru, sepupu saya dari jauh hadir dan kami menghabiskan waktu bermain di pinggir pantai serta pengalaman tak terlupakan mendapatkan hadiah dari sanak saudara. Sesuatu yang telah terjadi puluhan tahun yang lalu, Pengalaman yang kini seolah hadir kembali dalam kesadaran saya bahkan ketika saya telah menjadi ayah atau kakek.
Itu hal yan dialami jutaan penduduk Indonesia dan menjadi alasan mengapa mereka bersedia berjuang menghadapi kemacaten, menembus kepadatan manusia sekedar bisa berkumpul bersama keluarga. Tidak lain merasakan kembali kebahagian itu .   Hanya orang yang tidak mengalami masa kecil yang indah dan pengalaman lebaran yang membekas yang tidak merasa perlu merayakan hari istimewa ini. Dan inilah makna sosiologis serta psikologis dan lebaran.

H. Anwar Adnan & Keluarga, berserta Tim Anwar Adnan Foundation mengucapkan

http://www.solusigrafika.com/image-upload/Lebaran-2013.jpg

Beruntunglah Indonesia Masih Punya Desa



http://sinarharapan.net/wp-content/uploads/2016/04/desa-sejahtera-mandiri.jpg
Saya kadang, setiap kali melihat kota yang maju di Jawa atau di luar negeri, mendadak punya ide untuk menjadikan desa mendadak berwajah kota.  Bangun hotel mewah, perumahan atau juga industri. Biar telihat desa di Sulbar maju.
Namun baru-baru ini saya menyaksikan tayangan "Vice",  film dokumenter yang memberikan kritik sosial di stasiun jaringan Fox, yang menggambarkan bagaimana India saat ini kesulitan mencari air bersih. Wajah kota yang saya saksikan begitu menyuramkan. Sanitasi mengerikan. Sungai begitu kotornya. Got-got tidak hanya menyalurkan limbah rumah tangga namun juga menggantikan fungsi septic tank.
Pada acara yang sama di kesempatan yang berbeda saya juga menyaksikan bagaimana modernitas di sektor pertanian telah memberikan dampak lingkungan yang buruk. Produk makanan  yang dihasilkan memiliki dampak buruk terhadap kesehatan. Acara tersebut menyanjung bagaimana pertanian organik adalah sesuatu pilihan.
Sementara setiap kali saya berkunjung ke Eropa, mereka berusaha mempertahankan bangunan  tua mereka. Sehingga masyarakatnya serasa masih hidup 100 tahun silam. Mereka tidak ingin bergerak terlalu cepat. Suatu kali saya bertanya seorang warga, lalu ia menjawab bahwa bangunan ini mempertahankan memori masa lalu mereka tentang Eropa yang harmonis,  lebih manusiawi. “Saat ini kami menghabiskan waktu kami untuk bekerja dan bekerja”.

Siaran Pers: Indonesia Krisis Kopi



https://pgcpsmess.files.wordpress.com/2014/03/coffee20cherries20at20monte20alegre.jpg
Indonesia pernah berjaya menjadi salah satu produsen kopi terbaik di dunia. Dan pada  zaman Belanda menjadi penghasil kopi terbesar di dunia. Hanya saja posisi Indonesia terus melorot dan bahkan hingga hanya menjadi produsen kopi terbesar ketiga yang digeser oleh Vietnam yang belakangan mengembangkan kopi.  
Menurut kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bener Meriah, Ahmad Ready saat ini terjadi tren penurunan produktivitas kopi rakyat. Hal ini karena sebagian besar kopi di Aceh sudah tua dan melewati umur produktifnya. Saat ini tercatat luas kopi di Bener Meriah mencapai 46 ribu dimana 50 persen diantaranya merupakan tanaman tua “Selain itu hama bubuk buah menjadi momok buat petani dan juga jamur akar putih”, kata
Hal ini sudah mulai dirasakan oleh eksportir kopi yang selama ini mengantungkan supply dari wilayah Aceh dan Sumatera Utara. “Saat ini ekspotir kesulitan untuk bisa memenuhi kontraknya sekitar 100 kontainer, sekitar 2000 ton”, katanya. Padahal Bener Bener meriah dikenal sebagai daerah penghasil kopi terbaik  di dunia.
Pendapat senada juga disampaikan Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno. “Saat ini di Sumatera Barat mayoritas tanaman kopi telah  berumur di atas 15 tahun dan beberapa diantaranya tidak terawat dengan baik. Sehingga produktivitasnya kurang dari 600 kg/ha/tahun. Selain itu kondisi lahan juga semakin berkurang kesuburannya karena dieksplotasi tarus menerus tanpa adanya upaya konservasi lahan”, katanya.
Ia mengkhawatirkan bahwa produksi ini akan terus mengalami penurunan jika tidak adanya upaya penyelamatan kopi rakyat.
Sementara Gubenur NTT, Frans Lebu Raya, mengeluhkan kondisi yang sama. Produksi perkebunan kopi rakyat di NTT cenderung menurun setiap tahunnya karena sudah  berumur tua. “Jika tidak diselamatnya maka produksi kopi kita akan menurun dan posisi Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ketiga bukan tidak mungkin merosot terus, seperti yang terjadi pada berbagai komoditas perkebunan lainnya”, katanya.