Suatu kali saya
ditanya mana yang lebih penting kekuatan membangun manusia atau membangun
fisik. Saya sebenarnya tidak suka memilih untuk opsi-opsi ekstrim seperti ini.
Saya lebih memilih cara berpikir dialektis. Namun saat menyaksikan pertandingan
bola final Olimpiade yang mempertemukan Brazil dengan Jerman membuat saya benak
saya memikirkan seuatu hal yang menggelitik.
Mendadak sata memikirkan
sosok Neymar, pemain bola yang sangat berbakat
yang usianya jauh di bawah umur anak tertua saya. Ia baru saja menandatangai
kesepakatan gaji barunya dengan Bercelona. Sebesar 15 juta Euro, atau setara
Rp. 221 Milyar setahun.
Angka yang
fantastis, bukan!? Saya mencoba membandingkan angka itu dengan bantuan dana
APBN untuk kegiatan perbaikan tanaman kakao yang melibatkan ribuan petani. Hampir
mendekati. Artinya gaji Neymar selama setahun setara dengan bantuan pemerintah
pusat untuk satu provinsi. Angka yang tidak jarang membuat para petugas dinas getar
getir karena selanjutnya akan menjadi objek para pemeriksa.
Mungkin Anda akan
mengkritik hal tersebut sebagai sisi lain dari kapitalisme. Saya tidak demikian.
Namn bagi saya betapa beruntungnya Brasil, negara asal Neymar, karena memiliki WNB
(Warga negara Brasil) yang mampu menarik uang besar ke negaranya. Hebatnya, Brasil tidak hanya mengekspor seorang Naymar namun
ada ribuan pemain bola asal negeri samba itu yang bermain di berbagai liga
dunia dan dibayar mahal.
Lalu Apa
rahasianya? Di Brasil terdapat sejumlah
akademi bola yang sukses mencetak pemaik berbakat. Sebuat saja Santos, Gremio atau
juga Sao Paolo. Sekolah bola inilah yang
sukses mencetak pemain-pemain penghasil devisa.
Brasil sebenarnya
tidak kalah soal kekayaan alam dengan Indonesia. Di sisi lain negara tersebut
juga dikenal dengan kantung-kantung kemiskinannya dan daerah-daerah dengan
tingkat kriminalitas tinggi. Banyak anak-anak yang terjun ke jalanan akibat
kurangnya kesempatan kerja. Sehingga sepak bola menjadi peluang untuk
meningkatkan harkat hidup. Tapi upaya negara tersebut menciptakan pemain bola
hebat adalah salah satu pendekatan lain untuk memperkuat perkonomian negaranya.
Melihat hal
tersebut, saya mau tidak mau harus berkesimpulan, mencetak seorang yang cerdas
dan memiliki keahlian, akan memberikan nilai tambah lebih besar buat
daerah daripada semata-mata mengandalkan kekayaan alam. Orang-orang pintar
inilah yang nantinya mampu menciptakan economic
value. Apalagi jika didukung sarana dan kekayaan sumber daya alam yang memadai.
Lalu pertanyaannya
bagaimana seharusnya strategi pengembangan SDM di daerah?
Apakah sekedar mengirimkan anak-anak muda potensial ke ITB, UI atau
universitas negeri ternama lainnya. Atau dengan melatih mereka di pusat pendidikan entrepreneur. Mengingat saat ini
terbangun dikotomi sekolah vs pengusaha.
Saya tidak ingin
terjebak pada pilihan yang bersifat instan. Menurut saya pengembangan SDM daerah
harus disesuaikan dengan kemampuan dasar yang dimiliki berdasarkan pengalaman
yang terbentuk oleh budaya atau alam. Anak-anak di Sulbar yang terbiasa bermain
di laut mungkin akan lebih tepat jika diarahkan menjadi pakar atau entrepreneur
di bidang perikanan. Anak-anak Papua yang
memiliki pengetahuan tentang keragaman hayati khususnya tanaman obat-obatan mungkin
diarahkan menjadi pakar farmasi. Anak-anak dari Bali atau Jawa yang memiliki
kemampuan seni mungkin diarahkan mengembangkan pengetahuan dibidang itu.
Perlu kajian
tentang potensi tersebut hingga akhirnya kita bisa mengetahui secara spesifik minat
dan pengalaman dasar dari anak-anak kita. Saya harus garis bawahi pengalaman dasar, karena itu adalah
kekuatan personal yang terbangun dari pengalaman dan akibat budaya yang
menjadikan keunggulannya dari anak yang berasal dari tempat lain. Sebuah advantage yang sudah terbangun secara alami.
Oleh sebab itu
menurut saya dalam kaitan pengembangan SDM maka Pemda perlu melakukan
identifikasi pengalaman dasar, potensi dan minat anak usia remaja. Lalu pendidikan
yang dikembangkan diarahkan mendukung hal tersebut. Menurut saya di setiap
daerah harus dibangun pendidikan tinggi
spesifik berdasarkan kekuatan daerah. Misalnya sekolah
farmasi mungkin baiknya didirikan di Papua. Sekolah perikanan atau kakao di
Sulawesi Barat. Pendidikan itu akan menjadi kuat dengan sendiri, tidak hanya
karena tenaga pengajarnya yang handal, namun juga karena alam dan lingkungan masyarakat budaya menjadi tempat
praktikum yang lengkap.
Ketika kita
membangun sistem pendidikan secara terencana, spesifik, dan tidak mengeralisir,
bahwa setiap anak harus jadi dokter, insinyur atau harus bisa buat robot, saya
percaya setiap wilayah di Indonesia akan mampu menciptakan generasi-generasi
muda handal yang menciptakan economic value yang lebih tinggi dari pendapatan daerahnya.
Seperti halnya yang terjadi pada Neymar yang
hanya mengandalkan kemampuan menggiring bola ke arah gawang dibayar dengan angka yang
sangat fantastis.
"Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
ReplyDeleteminimal depo dan wd cuma 20 ribu
dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino"