Saya kadang, setiap kali melihat kota yang
maju di Jawa atau di luar negeri, mendadak punya ide untuk menjadikan desa mendadak
berwajah kota. Bangun hotel mewah,
perumahan atau juga industri. Biar telihat desa di Sulbar maju.
Namun baru-baru ini saya menyaksikan tayangan
"Vice", film dokumenter yang memberikan kritik sosial di stasiun jaringan Fox, yang menggambarkan
bagaimana India saat ini kesulitan mencari air bersih. Wajah kota yang saya
saksikan begitu menyuramkan. Sanitasi mengerikan. Sungai begitu kotornya. Got-got
tidak hanya menyalurkan limbah rumah tangga namun juga menggantikan fungsi septic tank.
Pada acara yang sama di kesempatan yang
berbeda saya juga menyaksikan bagaimana modernitas di sektor pertanian telah
memberikan dampak lingkungan yang buruk. Produk makanan yang dihasilkan memiliki dampak buruk terhadap
kesehatan. Acara tersebut menyanjung bagaimana pertanian organik adalah sesuatu
pilihan.
Sementara setiap kali saya berkunjung ke
Eropa, mereka berusaha mempertahankan bangunan tua mereka. Sehingga masyarakatnya serasa
masih hidup 100 tahun silam. Mereka tidak ingin bergerak terlalu cepat. Suatu kali
saya bertanya seorang warga, lalu ia menjawab bahwa bangunan ini mempertahankan
memori masa lalu mereka tentang Eropa yang harmonis, lebih manusiawi. “Saat ini kami menghabiskan
waktu kami untuk bekerja dan bekerja”.
Saya kembali membayangkan desa di Sulbar.
Tidak kesulitan air. Air bersih bisa
didapatkan kapanpun, bahkan mampu menyupply kebutuhan air di Palu, atau Mamuju.
Lingkungan terjaga dan asri. Udara segar. Masyarakatnya sangat manusiawi,
saling mengenal, mempunyai banyak waktu untuk bersosialisasi. Hutan menyupply udara segar bagi kota. Pemandangan
masih indah. Pantai yang biru dan bebas polusi.
Saat itulah saya sadar desa memiliki
kelebihannya sendiri tanpa harus kita melekatkan standar dari tempat lain. Kita
harus bersyukur masih memiliki desa yang bisa menyupply air bersih, hasil
pertanian, udara segar, menyimpan indahnya pemandangan alam. Dan.. petani kita
masih menghasilkan makanan kita dengan cara-cara yang organik.
Namun tentu saja kita tidak bisa membiarkan
desa begitu saja. “Kan sudah bagus”, begitu alasan kita. Tetap saja kita harus
membangun desa. Jangan biarkan desa jadi kantung kemiskinan. Namun harus juga sejahtera
dalam kondisi yang harmonis.
Saya membayangkan seperti desa-desa di Bali.
Asri, ya. Sejahtera, ya. Masyarakat sejahtera karena mengandalkan kreativitas
dan kekayaan alamnya. Meskipun banyak dikunjungi orang asing tidak serta merta
desa di Bali menjadi kebarat-baratan. Dan itu juga yang membuat banyak orang
asing ke Bali, ingin menikmati masa lalu
ketika tempat mereka dahulu seperti desa.
Beruntunglah kita masih punya desa.
No comments:
Post a Comment