Pada
tahun 2015 yang pemerintah mengalokasikan APBN P sebesar Rp 32,813 triliun.
Anggaran tersebut dialokasikan pada upaya peningkatkan produksi pangan serta
beberapa komoditas andalan seperti kakao dan kopi. Tentu ini adalah bukti dari
komitmen pemerintah untuk meraih swasembada pangan. Adapun anggaran tersebut
sebagian berupa pengadaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, pestisida, alat
pertanian seperti traktor, perbaikan irigasi, dsb, yang pelaksanannya
diserahkan kepada pemerintah daerah.
Kegiatan
ini tentu saja akan memberikan dampak yang signifikan kepada peningkatkan
produksi petani karena adanya perbaikan bahan tanam, adanya penggunaan pupuk
yang bermutu serta kegiatan pengendalian hama dan jaminan ketersediaan air. Hanya
saja ke depan tekanan terhadap pertanian semakin besar, kebutuhan sektor lain
terhadap APBN meningkat. Apakah pemerintah akan tetap melakukan kebijakan
alokasi anggaran untuk peningkatkan swasembada pangan Namun bagaimana jika ke depannya hal ini
tidak dapat dipertahankan lalu terobosan apa yang bisa kita lakukan?
Tantangan Pertanian Kedepan
Tentu
ini perlu menjadi pertanyaan, mengingat laju peningkatkan APBN tidak sebanding
dengan kebutuhan masyarakat. Beruntung pada tahun ini kita memiliki anggaran
yang berasal dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan kepada
berbagai kegiatan produktif yang ditenggarai adanya penurunan harga minyak bumi
dunia.
Namun
bagaimana jika kemudian anggaran APBN tidak lagi sefleksibel saat ini ketika
harga dunia melonjak tinggi, ketika kebutuhan akan berbagai subsidi mulai dari
BBM, listrik dsb juga turut meningkat. Belum lagi terjadi trand peningkatan biaya
untuk meningkatkan atau mempertahankan produksi petanian. Hal ini diakibatkan
antara lain terjadinya kerusakan lahan akibat eksploitasi terus menerus tanpa
memperhatikan konservasi lahan, dampaknya untuk meningkatkan produksi maka
kebutuhan pupuk semakin besar per ha. Sementara harga sarana produksi seperti
pupuk, benih cenderung meningkat setiap tahunnya demikian juga biaya tenaga kerja.
Sementara
dari sisi harga gabah, petani sering mengeluhkan fluktuatif harga dan semakin
turunnya profit yang dapat diterima oleh petani. Apalagi terdapat kecenderungan
peningkatan harga dan penurunan produksi akibat menurunya kesuburan lahan. Itu
sebabnya di sejumlah daerah terdapat laju konversi lahan sawah ketika sektor
ini tidak lagi menjanjikan. Apalagi pada petani yang memiliki luasan kurang
dari 1 ha yang membuatnya sulit mencapai skala ekonomi dan membuat aktivitas
produksinya menjadi tidak efisien.
Jika
pemerintah berupaya untuk terus mempertahankan produksi nasional atau
meningkatkan maka akan membutuhkan peningkatkan alokasi anggaran setiap
tahunnya sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap APBN. Padahal pada
prinsipnya bantuan yang dialokasikan
kepada masyarakan bertujuan untuk membangun sebuah pertanian yang
berkelanjuntan dan kemandirian petani.
Membangun Agropolitan
Saat
ini mindset bahwa ketika simbol kemanjuan adalah suatu daerah berkembang
menjadi daerah industri dan jasa. Sehingga banyak daerah yang berusaha
mengenjot tumbuhnya pusat-pusat industri, pusat perbelanjaan. Padahal sangat
dimungkinkan memanjukan daerah melalui pertanian.
Tentu
dalam hal ini bukan pertanian seperti yang ada saat ini yang masih bersifat
subsisten, atau yang belum berkembang ke arah pertanian modern. Namun menjadi
sebuah kawasan pertanian berbasis agropolitan. Kawasan agropolitan adalah
kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian
dan pengelolaan sumber daya alam
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Dalam
konsep ini saya membayangkan lahan pertanian tidak sekedar menghasilkan gabah,
namun pada suatu kawasan agropolitan terdapat kegiatan penggilingan,
pengemasan, dan terus berlanjut hingga pada grading dan sortasi serta
berkembangnya agroindustri seperti industri nasi instan kemasasan, atau
industri pakan ternak memanfaatkan limbah menjadi produk bermanfaat. Sementara
daerah-daerah pertanian juga dapat dikembangkan menjadi kawasan agrowisata,
dimana para wisatawan dapat melihat indahnya suasana pedesaan serta dapat
menyaksikan proses pengolahan beras dari gabah.
Sementara
konsep integrated farming, corporate farming, terminal agribisnis di Thailand,
pertanian kolektif di Australia Barat, one
village one product (OVOP) movement
di Jepang, one tambon one product (OTOP) di Thailand, one town one product (OTOP) di Filipina, agropolitan di Sabah
Malaysia dan Jinju City Korea Selatan, merupakan konsep-konsep pembangunan
kawasan berbasis agribisnis yang telah diimplementasikan. Sehingga hal ini
membuktikan bahwa agropolitan tidak secara teoritis menarik namun sesuatu yang
dapat diwujudkan.
Saat
sebuah daerah berbasis agropolitan maka apa yang dirasakan masyarakat tidak
berbeda dengan daerah industri yakni peningkatan pendapatan masyarakat,
pengembangan wilayah dan peningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang nanti
dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu fasilitas pendidikan, kesehatan dsb
sehingga dapat meningkatkan mutu sumber daya di daerah.
Hanya
saat ini upaya pengembangan agropolitan masih terbatas. Sementara yang
pemerintah lakukan adalah mendorong kegiatan pertanian subsistem atau
tradisional agar berproduksi tinggi yang dampaknya adalah sebuah kegiatan
pertanian yang high cost.
Oleh
sebab itu menurut saya bahwa pengalokasikan anggaran yang cukup besar tersebut
harus dilakukan tidak semata-mata memberikan bantuan sarana produksi, yang
dampaknya hanya dirasakan pada satu siklup tanaman, namun untuk sebuah manfaat
berkelanjutan. Oleh sebab itu bantuan tersebut harus dalam konteks pembangunan
agropolitan.
Selain
itu ketika daerah telah memiliki sebuah paradigma yang baru, bahwa agropolitan
dapat menjadi salah satu strategi pengembangan daerah maka dampaknya adalah
kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap sektor pertanian. Tidak yang terjadi
saat ini, ada banyak pemimimpin daerah yang dapat memberikan izin para investor
untuk membangun pabrik dengan mengorbankan lahan-lahan pertanian
produktif. Meskipun pada kesempatan lain
sang pemimpin daerah menganggung-agungkan sektor pertanian dan ingin mendukung
swasasembada pangan.
Membangun Agribisnis
Lalu
pertanyaannya mengapa pertanian kita tidak berkembang dari pertanian subsisten
ke arah modern?
Alasannya
sederhana karena pertanian Indonesia tidak terterpa secara langsung pasar yang
sesungguhnya. Bagi pasar bagi mereka adalah para pengumpul lokal serta pedagang
lokal. Mereka tidak mampu melihat pasar dalam arti global. Bahwa petani sawah
di Bali tidak mengetahui bahwa ada sekelompok masyarakat yang membutuhkan padi
organik. Mereka juga tidak mengetahui penggunaan kemasan dan higienis dapat
meningkatkan meningkatkan nilai tambah.
Sementara
ketika kita memperkenalkan sebuah teknologi kepada petani, entah itu pupuk,
pestisida, penggunaan benih bermutu dan aplikasi lainnya seluruhnya membutuhkan
cost. Ketika petani tidak mendapatkan
insentif terhadap implementasi tersebut maka petani tidak akan secara suka rela
menerapkannya, dan hanya akan menggunakan jika ada bantuan.
Itu
sebabnya dalam berbagai kondisi, petani hanya menggunakan pupuk dan pestisida
ketika ada bantuan. Ketika tidak ada maka mereka kembali pada pola pertanian
tradisional yang berbiaya murah, dampaknhya produksi seringkali menurun pasca
tidak ada lagi bantuan.
Tentu
ini bukan kondisi yang kita harapkan. Bagaimanapun bantuan pemerintah itu
bersifat sementara, dan harus mampu membangun kemandirian dan bukan
ketergantungan. Itu sebabnya dalam pengembangan pertanian khususnya
pengembangan swasembada pangan harus berorientasi membangun sebuah agribisnis.
Sebuah pertanian yang terintegrasi dengan pasar.
Oleh
sebab itu petani tidak hanya perlu mendapatkan bantuna sarana produksi semata
yang dapat menciptakan sebuah ketergantungan bahkan menurut saya “candu”, namun
juga mendapatkan bimbingan tentang pasar, entrepreneur.
Serta mendorong investor untuk menjadi mitra kepada petani.
Sebab
itu kita tidak dapat terus menopang pertanian kita dengan mengharapkan bantuan
pemerintah. Kita tidak dapat secara terus menerus menopang sebuah kegiatan
ekonomi yang tidak ekonomis namun pemerintah dapat melindungi petani terhadap
dampak dari fluktuasi harga yang tidak dapat dikendalikan petani. Untuk
mendorong petnai untuk meningkatkan efisiensinya adalah dengan memperkenalkan
inovasi dan pembinaan, seperti yang telah dilakukan selama ini. Namun menurut
hemat saya ini tidak cukup. Kita harus menilai sebuah aktivitas pertanian
pangan adalah sebuah bisnis dimana petani mengharapkan penghidupan yang lebih
baik daripadanya dan membuat kehidupannyanya menjadi lebih bermartabat.
Dalam
kaitan tersebut pemerintah perlu meningkatkan keterkitan pertanian pangan
dengan pasar global yang membukakan petani akan potensinya memperoleh nilai tambah
dengan memenuhi kebutuhan konsumen. Hal ini juga dapat diwujudkan melalui upaya
kemitraan dan pembanguna networking serta pengembangan agropolitan. Menurut
pendapat saya ini tidak cukup hanya dengan sebuah himbuan namun sebuah regulasi
yang mendorong industri atau perusahaan bersedia turut serta berkontribusi
membangun agropolitan atau pertanian berorientasi bisnis (@anwaradnan).
No comments:
Post a Comment