Kita mungkin miris melihat apa yang terjadi di Sarinah beberapa waktu yang lalu.
Sekelompok orang sengaja berada di tempat yang cukup ramai tersebut untuk
menghabisi nyawa orang lain yang tidak berdosa. Beruntung petugas keamanan
mampu mengatasi aksi mereka sehingga tidak banyak korban yang berjatuhan.
Hanya yang menarik adalah siapakah mereka itu? Tentu saja
mereka orang Indonesia, lahir di tanah tercinta ini. Namun karena sebuah
ideologi yang salah mereka memilih untuk mengorbankan hidup mereka demi
menciptakan teror dengan menjadikan manusia yang memiliki wajah serta kulit
yang sama. Dan menggunakan bahasa yang sama dengan dia.
Lalu pertanyaannya mengapa orang-orang seperti ini muncul?
Menurut pendapat saya bahwa hanya orang yang kehilangan harapan akan hidup yang
lebih baik serta memiliki wawasan yang sempit dapat dijadikan seorang teroris.
Sehingga dengan asumsi demikian maka petani kakao mustahil
menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Mengapa demikian?
Adanya
pengharapan
Meksipun petani kakao menghadapi berbagai masalah namun
perkebunan kakao layak sebuah meja judi di Vegas. Sebuah kemenangan yang tidak terduga dipastikan akan membuat seorang
akan terus berusaha untuk menjatuhkan taruhannya.
Seorang petani kakao sering mendapatkan kejutan yang
menggembirakan. Ada suatu masa mereka mendapatkan harga penjualan yang begitu
mengejutkan. Akhir tahun yang lalu petani di Bali berhasil menjual biji kakao
organiknya Rp. 42.000/kg, demikian juga petani di Kolaka berseri-seri setelah
mendapatkan Rp. 35.000/kg.
Bagi petani, meskipun perkebunan kakao kaya akan resiko
namun selalu ada harapan akan kejutan di masa depan. Harga dapat melejit dan
mendadak menjadikan petani mendapatkan penghasilan yang mensejahterakan.
Beberapa petani di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dengan pendapatan dari kakao
bisa menunaikan ibadah ke tanah suci, membeli mobil mewah dan menyekolahkan anak hingga sarjana.
Baginya, mengorbankan hidupnya terlalu buruk untuk kehidupan
yang selalu penuh harapan. Sementara dalam kehidupan seorang terorisme,
semuanya serba pesimistis. Mereka hidup dalam dunia yang tidak memberikan
kegembiraan, semuanya adalah dajjal. Tidak ada harapan. Sehingga kehidupan
penuh keindahan ada di dunia nanti.
Sementara petani kakao hidup lekat dengan alam. Sehingga
mereka mampu melihat kebesaran Tuhan dari kehidupannya sehari-hari. Udara yang
segar dan lembab. Kebun yang indah. Burung-burung yang bersarang di pohon
kelapa yang menjadi penaung tanaman kakao. Ketika Tuhan itu begitu baik,
sangat agung dalam kehidupannya yang lekat dengan alam dan pertanian maka
rasanya mustahil Tuhan memberikan perintah untuk menghancurkan hal yang ia
ciptakan, merusak tananan. Tuhan terlalu besar untuk dibela seorang terorisme
ketika Sang Maha Kuasa mampu membuat sebuah tatanan yang harmonis terbentang dalam bentuk
perkebunan kakao dan pemandangan yang melatarbelakanginya.
Adanya
Relasi
Ketika kakao menjadi sebuah bahan baku untuk sebuah produk
global membuat petani kakao beradal dalam lingkungan yang terbuka. Seorang
petani kakao di Sulawesi sekali waktu akan bertemu dengan seorang asing yang
ramah dan memberikan pengertahuan. Orang Bugis, petani kakao asal Polewali Mandar akan
bermitra dengan seorang pedagang orang warga Tionghoa yang memiliki latar
belakang budaya dan agama yang berbeda.
Orang Tolaki berinteraksi dengan orang Toraja dalam tata
niaga kakao. Lalu seorang dari Amerika melakukan tatap muka dengan petani
kakao di Mamuju.
Ketika mereka berinteraksi dengan banyak orang dengan
berbagai latar belakang ras, suku dan agama maka akan memberikan persepsi yang
lebih humanis dalam diri seorang petani kakao. Siapapun dan apapun sukunya
dapat menjadi saudaranya yang memberikannya kehidupan.
Dengan berkebun kakao
menjadikan pekebun membuka diri dengan berbagai perbedaan. Berbagai
pemikiran dan ideologi. Mereka menjadi orang dengan pemikiran yang luas,
sehingga wawasan tersebut memberikan
petani kakao untuk menilai berbagai ideologi yang menyebar secara kritis
khususnya yang mendeskritkan kalangan yang berbeda dengan diri dan kelompoknya.
Ekonomi
Pengharapan
Para terorisme adalah generasi muda Indonesia yang oleh
karena sesuatu hal menyerap ideologi yang menyimpang. Dalam banyak hal
pemikiran tersebut masuk ketika seseorang berada dalam kondisi inferior,
terasing, kehilangan harapan.
Oleh sebab itu belajar dari petani kakao, manusia Indonesia
tidak hanya membutuhkan sebuah gerakan deradikalisasi namun juga sebuah kondisi
ekonomi yang memberikan pengharapan, kejutan dan martabat. Selain itu
masyarakat Indonesia harus, melalui kegiatan ekonomi, terhubung satu sama lain
dan membangun persepsinya.
Pertanian perkebunan adalah salah satu solusi praktis.
Sayangnya tidak semua berkembang menjadi sebuah usaha modern yang menjadikan
produk pertanian sebagai komoditas global seperti kakao. ketika pemerintah tetap memberikan perhatian kepada
sektor pertanian, tidak semata-mata menjadi produk subsisten namun berorientasi
pasar global maka ini akan membentuk masyarakat yang terbuka, memiliki wawasan
luas dan berpengharapan.
No comments:
Post a Comment