Mengapa Saya Mendukung Bapak Jokowi Walau Harus "Melepas Baju"


http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/889093/big/081547600_1432962421-IMG-20150530-WA002__1_.jpg
Suatu kali saya pernah bertanya, mengapa  Anda mendukung Bapak Jokowi sebagai presiden?
Tentu pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, karena saya dianggap orang kuning dan bukan orang  merah. Kedua, bukankah Bapak Jokowi hanya seorang mantan seorang Walikota yang dalam struktur pemerintahan lebih rendah posisinya dari seorang Gubernur.
Tapi dalam konteks kehadiran Bapak Jokowi, saya menyadarinya sebagai sebuah  perubahan dalam kepemimpinan Indonesia. Selama lebih dari 3 dekade, bahkan lebih, Indonesia berada di bawah kepemimpinan tokoh militer. Saya harus akui bahwa sosok militer disukai karena ketegasannya, kemampuannya dalam mengorganisir, mampu mengambil keputusan cepat dan nasionalismenya tidak perlu diragukan karena para pemimpin militer telah didoktrin sebagai para pembela negara. Dan begitu juga kesan yang ada di dalam benak masyarakat Indonesia.
Namun dengan berkembangnya waktu rakyat Indonesia mengalami banalitas terhadap atribut-atribut kepemimpinan. Masyarakat Indonesia mengalami dinamika preferensi. Terutama saat banyak pemimpin yang menampilkan diri sebagai pribadi yang penuh kharisma, kewibawaan lalu gagal memimpin sebuah daerah dan tidak jarang  berakhir di tempat yang tidak seharusnya. Pola pembangunan ekonomi dari para pemimpin ala aristokrat kemudian juga dirasa kurang memberikan perhatian pada sisi manusiawi. Pembangunan hanya bernilai fisik dan angka.
Orang Indonesia mulai berpikir realistis untuk tidak lagi bermimpi untuk memiliki seorang “raja”, atau seorang dewa dari khayangan dengan segala kemegahannya. dininabobokkan dengan dongeng raja dan permainsuri yang cantik. Masyarakat Indonesia mulai mengharapkan kehadiran seorang pemimpin yang mengambil wajah rakyat jelata. Seorang pemimpin yang bukan memisahkan melainkan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, dan merepresentasikannya.
Sehingga  pemimpin Indonesia tidak sekedar sosok yang merakyat melainkan juga menjadi pemimpin yang mampu membangun manusia yang bermartabat

Dalam konteks demikian Bapak Jokowi kemudian hadirLalu menawarkan diri sebagai sosok pemimpin yang pure human.
Ia bersahaja? Ya.
Ia merakyat? Ya.
Ia tegas? Ya.  

Ia melakukan perubahan? Ya.  

Ia mengambil keputusan secara cepat? Tentu saja

Dan kebijakannya memberikan ruang yang luas pada sisi manusia sebagaimana ia buktikan ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Khalayak yang sudah nyaman dengan kemiskinan ia pindahkan dari kawasan kumuh meskipun dengan penolakan. Namun mereka dimanusiakan dengan menempati pemukiman yang layak dan tidak lagi menghirup bau amis dari air yang bersumber dari pinggir sungai atau waduk.

Lahan-lahan kosong selama kepemimpinannya di Jakarta berubah menjadi taman yang memberikan ruang bagi masyarakat berinteraksi. Sungai ia bersihkan agar tidak lagi menebarkan aroma yang tidak sedap bagi penciuman manusia.
Ia menjadi simbolisasi dari masyarakat itu sendiri. Seluruh aspek tubuhnya menjadi representasi kehidupan rakyat bawah. Dinamika ini yang saya rasakan. Saya tidak bisa membendung hasrat masyarakat Sulawesi Barat yang mayoritas adalah komunitas petani. Namun pada saat bersamaan saya juga harus membenturkan keyakinan saya tentang esensi kepemimpinan bangsa, saat saya beranggapan seorang pemimpin adalah sosok setengah dewa.
Bapak Jokowi mengajarkan saya tentang esensi kepemimpinan yang mendengar, memiliki empati. Dan bukan semata-mata sosok yang memindahkan dan memaksakan isi kepalanya pada realitas dan menjadikan manusia sebagai angka-angka statistik melainkan menempatkan manusia sebagai sentra.
Itu sebabnya saya dengan memberikan dukungan kepada Bapak Jokowi dengan melepaskan atribut kuning, merah, biru atau hijau. Dan bersyukur masyarakat Sulawesi Barat   mayoritas mendukung Bapak Jokowi menjadi pemimpim negara.
Dan…saya membuktikan pilihan saya benar. Bapak Jokowi memberikan keperdulian terhadap  program- program berbasis masyarakat. Seperti halnya pengembangan kakao. Dalam kunjungannya Bapak Jokowi mengatakan “Apakah Bapak bisa memastikan Indonesia menjadi produsen kakao terbesar?”.
Saya katakan, jika pemerintah memberikan dukungan.
Beliau jawab siap. Dan ia buktikan. Pemerintah pusat memberikan dukungan pada komoditas yang menjadi gantungan hidup dari  Aceh hingga  Papua,  bahkan sampai ke daerah kepulauan terpencil. 

Beliau juga melakukan hal yang benar dengan membangun infrastruktur di berbagai kawasan di Indonesia khususnya di luar Jawa yang lupa dibenahi selama bertahun-tahun, bahkan tidak ada yang janggal ketika di Sulawesi tidak memiliki jaringan rel kereta api. Saya mendapati jalan di Papua begitu mulusnya dan daerah yang tadinya terpencil menjadi terakses.
Program pengembangan infrastuktur tersebut barangkali tidak akan segera dirasakan manfaatnya dalam waktu singkat. Bahkan mungkin akan menguras keuangan negara. Namun setelah beberapa tahun mendatang infrastuktur yang sudah terbangun bakal menjadi roda penggerak laju ekonomi.
Jadi tidak lagi terjadi, biaya mendatangkan barang dari luar negeri lebih murah daripada membawa barang dari Papua ke Jakarta. Demikian juga dalam pencapaian swasembada pangan. Fokusnya tidak semata-mata memberikan bantuan benih. Tapi melakukan hal yang mendasar yakni perbaikan irigasi, yang saat ini banyak tidak lagi berfungsi. Impor pertanian dibatasi yang kadang membuat banyak, pihak gerah.
Semua hal tersebut membuktikan Bapak Jokowi tidak sekedar membuat kebijakan instan, untuk membangun pencitraan. Melainkan meletakkan pembangunan ekonomi pada hal yang tepat.
Jadi hingga saat ini saya masih meyakini jika dukungan saya Presiden Jokowi adalah hal yang tepat. Ini adalah representasi dinamika masyarakat yang memaksa saya untuk melepaskan atribut saya. Sembari saya belajar menghirup dinamika kepemimpinan gaya baru yang tidak menekankan pada aspek laju pembangunan, program-program mercusuar, pembangunan citra melainkan pada kesediaan untuk mendengar, hadir dan memberikan empati, dan tidak menjadikan rakyat angka statistik atau sekumpulan orang yang tidak bernilai. Pasalnya setiap manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sangat berharga.
Lalu suatu ketika rekan politik bertanya kepada saya, “Siapakah Anda dimata Bapak Jokowi?”
Saya tidak tahu dan tidak mau perduli hal itu. Saya akan tetap mendukung beliau meskipun saya bukanlah siapa-siapa (@Anwaradnan).

No comments:

Post a Comment