Investasi Asing adalah Sesuatu yang Haram?



http://www.ekon.go.id/berita/img/3486657549-pemerintah-buka-lima-sektor.389.jpg
Saya sering mendengar bagaimana para pengamat yang menilai bahwa Indonesia telah kembali dijajah negara asing. Salah satunya adalah dengan banyaknya investasi asing di Indonesia. Seharusnya, kata mereka, perusahaan lokal diberikan banyak ruang untuk mengembangkan ekonomi Indonesia.
Saya tentu saja sependapat dengan pemikiran si pengamat. Tapi sekaligus saya  juga mempertanyakan apakah investasi asing adalah sesuatu yang haram? Lalu mengapa dalam banyak kesempatan Presiden kita, Bapak Jokowi juga presiden sebelumnya selalu menekankan agar daerah menciptakan kondisi yang mampu menarik investor asing?

Pemimpin Daerah dan Gadis Cantik



http://www.unmotivating.com/wp-content/uploads/2015/02/Beautiful-Women-Around-The-World-042.jpg
Dalam sebuah diskusi dengan seorang pakar perkebunan di Mamuju, ia lalu menyampaikan pertanyaan yang menurut saya agak menjebak. “Apakah pemerintah pusat harus membantu Sulbar untuk bisa meningkatkan produksi perkebunan, dan harus menyediakan semua sarana produksi. Soalnya kalau bukan pemerintah pusat yang sediakan, ya siapa lagi, pak?”
Saya berpikir sejenak. Lalu tersenyum sambil merapikan rambut saya. “Well, bagi saya bantuan pusat itu adalah stimulasi ekonomi daerah. Bukan menyelesaikan semua masalah. Itu bukan senjata rahasia untuk bangun daerah”, kata saya dengan penuh kebanggaan dan menghirup kopi mamasa di atas meja saya.
Saya sangat yakin dengan pendapat itu sampai-sampai saya lupa jika saya sedang berbicara dengan seorang pakar. "Saya percaya bahwa pada akhirnya pemerintah harus mengurangi perannya, dimana masing-masing stakeholder membangun relasi yang menguntungkan", kata saya selanjutnya.
“Wah jika begitu Bapak seorang neoliberal?”, kritiknya. 
Saya kaget. Baru kali ini saya mendapatkan label seperti itu. Tapi saya menggeleng. “It’s not true brother”, kata saya sambil tersenyum.

Brasil, Neymar dan Kekuatan SDM



http://a.fssta.com/content/dam/fsdigital/fscom/Soccer/images/2016/02/01/020116-Soccer-Barcelona-Neymar-PI-JE.vresize.1200.675.high.80.jpg
Suatu kali saya ditanya mana yang lebih penting kekuatan membangun manusia atau membangun fisik. Saya sebenarnya tidak suka memilih untuk opsi-opsi ekstrim seperti ini. Saya lebih memilih cara berpikir dialektis. Namun saat menyaksikan pertandingan bola final Olimpiade yang mempertemukan Brazil dengan Jerman membuat saya benak saya memikirkan seuatu hal yang menggelitik.
Mendadak sata memikirkan sosok Neymar,  pemain bola yang sangat berbakat yang usianya jauh di bawah umur anak tertua saya. Ia baru saja menandatangai kesepakatan gaji barunya dengan Bercelona. Sebesar 15 juta Euro, atau setara Rp. 221 Milyar  setahun.
Angka yang fantastis, bukan!? Saya mencoba membandingkan angka itu dengan bantuan dana APBN untuk kegiatan perbaikan tanaman kakao yang melibatkan ribuan petani. Hampir mendekati. Artinya gaji Neymar selama setahun setara dengan bantuan pemerintah pusat untuk satu provinsi. Angka yang tidak jarang membuat para petugas dinas getar getir karena selanjutnya akan menjadi objek para pemeriksa.

Membangun Daerah, Investasi Saja Tidak Cukup



http://www.banyakbaca.com/wp-content/uploads/2016/06/kota-medan-1024x548.jpg
Banyak orang yang beranggapan dengan menarik investasi ke suatu daerah maka seluruh masalah terselesaikan. Pertumbuhan ekonomi meningkat, kemiskinan berkurang maka masyarakat menjadi sejatera.
Pertanyaannya apakah sesederhana itu?
Menurut saya tidak. Pergerakan capital ke suatu daerah tanpa adanya diikuti pergerakan SDM yang handal tidak akan menciptakan dampak ekonomi yang luas. Ini barangkali tepatnya yang  terjadi saat bantuan pemerintah pusat dialokasikan ke daerah tertinggal namun tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Lalu ketika SDM yang handal kemudian hadir bersamaan d engan pergerakan modal, apakah serta merta akan mendorong kemajuan ekonomi daerah?  Tidak juga. Seperti halnya daerah pertambangan yang tidak serta merta menjadikan daerah maju secara ekonomi.
Ada satu hal yang menurut saya sering dilupakan adalah bagaimana membangun sistem sehingga capital yang ada dan SDM tersebut kemudian secara terus menerus mengakumulasi capital, menciptakan inovasi dan mencetak SDM.

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?



Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka itu bukan disana tapi di dalam hati Anda
Merdeka itu adalah spirit dalam jiwa Anda

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka untuk berkerasi
Merdeka untuk menatap masa depan
Merdeka untuk berdiri di atas kaki saya sendiri

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka atas diri sendiri
Merdeka atas perasaan inferioritas
Merdeka atas kebodohan

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka untuk  mencinta
Merdeka untuk berempati
Merdekat untuk bertindak produktif

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka untuk mengeksplorasi diri demi nilai-nilai keutamaan
Merdeka untuk mencintai kemanusia
Merdeka untuk meninggalkan jejak yang bernilai bagi umat manusia

Jika ya
Selamat merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke 71

Sekiranya Pabrik Kakao Seperti Sawit, Tidak Ada Krisis Kakao



https://matafajar.files.wordpress.com/2012/04/dsc00770.jpg
Saya sering beradai-andai bagaimana kalau seandainya perusahaan pengolahan kakao dikenakan aturan yang ketat seperti pada perusahaan kelapa sawit. Bagaimana kira-kira dampak akhirnya?
Ketika menyimak salah satu pasal di UU tahun no. 39 tahun 2014 yang menyebutkan jika usaha Pengolahan Hasil Perkebunan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri. Sayangnya aturan ini hanya berlaku untuk untuk industri kelapa sawit, tebu dan teh.
Saya coba bayangkan jika aturan in diterapkan pada pabrik kakao. Sebut saja sebuah perusahaan memiliki kapasitas produksi hingga 40.000 ton/tahun. Maka dengan hitungan sederhana maka 8.000 ton harus diperoleh dari perkebunannya sendiri. Jika setiap ha bisa diperoleh 1 ton maka perusahaan kakao tersbut harus membangun kebun kakao seluas 8000 ha.  
Apa yang terjadi jika aturan ini diterapkan pada perkebunan kakao?

Menjadikan Desa Seksi Bagi Investor



 http://cimg.antaranews.com/makassar/2011/09/ori/20110916gernaskakao160911-aco1a.jpg
Pada tulisan sebelumnya saya membahas tentang pengembangan zona pertanian untuk mencapai luas areal yang memenuhi skala ekonomi. Maka pada artikel kali ini saya mencoba membahas bagaimana langkah selanjutnya agar sebuah desa menjadi pusat pertumbuhan.
Seperti saya jelaskan untuk memilik daya tarik ekonomi sebuah desa harus memiliki sebuah komoditas yang bernilai secara bisnis. Ini tidak saja dinilai dari jenis tapi juga dari volume. Saya pernah menikmati kopi yang sangat lezat di daerah pegunungan di daerah Nusa Tenggara Barat. “Kopi ini sangat enak. Mengapa tidak dikelan di Indonesia”, komentar saya kepada seorang ketua kelompok tani.
Ia merespon sembari tersenyum. “Terlalu mahal kalau dijual keluar desa ini karena produksinya sedikit dan akses jalan ke kota juga tidak terlalu bagus. Jadi ya kopinya kami nikmati sendiri saja”.

Membangun Zona Pertanian di Desa



http://previews.123rf.com/images/santanor/santanor1210/santanor121000640/15753998-agriculture-in-Northern-of-Thailand-Stock-Photo.jpg
Mengacu UU No 12 tahun 1992 petani diberikan kebebasan untuk mementukan komoditas yang ditanam. Ini ditafsirkan bahwa pemerintah tidak bisa secara sepihak komoditas yang wajib ditanam oleh masyarakat. Hal ini bagi pengamat di masa lalu simbol dari pemerintah yang otoriter dan wujud lain penjajahan.
Namun setelah saya terlibat langsung dalam pengembangan wilayah pedesaan saya akhirnya menyadari bahwa penetapan zoning untuk komoditas tertentu itu perlu. Hanya dengan demikian skala ekonomi bisa dicapai.
Bayangkan sebuah desa dijadikan basis pengembangan buah mangga. Sehingga di wilayah tersebut terdapat ribuan ha mangga dan setiap musim panen ribuan ton buah dihasilkan. Dampaknya,  pemusatan tersebut akan menarik trader, atau investor yang ingin membangun gudang atau industri pengolahan. Ekspotir mungkin juga akan membuka kantornya di situ dan membangun ruang penyimpanan. Sehingga mendorong terciptanya ekonomi pedesaan.

Do Not Sell Cocoa Farmers



https://humandignityco.files.wordpress.com/2014/09/sold-out.png
There are many parties, deliberately or not, make the farmers the commodity. Let us see in several elections. The society group that become the priority of the candidates in the agriculture-based areas is farmers. Why?
1.                  Farmers are the majority
2.                  Farmers are associated with poverty
3.                  Farmers are the ones most easily manipulated
There will always be emotional effect in each saying mentioning “farmers”.
We are the advocate of “farmer”
We are the friends of “farmers”
We are pro “farmers”
As if those sayings become the most effective mantra that can gain farmers’ vote. Yet, after getting the position, the farmers’ lives do not become better. They are forgotten. But ironically, this modus repeated again and again.
The same goes to the cocoa farmers. Many parties accomodate the cocoa farmers to get more benefits. I often heard the information that numerous companies or NGOs directly foster the cacao farmers. If you read the report on their activities, it will appear as though what they are doing are extraordinary.
In a paper that I read I found that there was a company claimed to have supported thousands of farmers in Ivory Coast to give them better lives. Various trainings are given. The company helped the farmers to get the market (in terms that the company is willing to buy their cacao beans that they actually needed and they assumed that a form of kindness). “We have helped thousands of farmers”, is their claim stated in their official website.

Oi, Bangun Desamu……



https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b8/Ogi_Shirakawa02bs3200.jpg
Suatu kali saya mendengar komentar seorang pengamat ekonomi soal pembangunan desa. Saya bisa menghitung ia beberapa kali ia menyalahkan pemerintah.
Desa tidak maju karena pemerintah.
Arus urbanisasi tinggi dari desa ke kota karena…pemerintah
Penduduk di desa terbelakang karena…pemerintah
Dst
Dst
Padahal, mengapa desa tidak maju-maju, karena orang yang punya desa tidak perduli.
Setiap kita pasti memiliki desa, entah karena kita lahir di desa atau karena orang  tua atau nenek kita bahkan buyut kita berasal dari desa. Sehingga sudah harusnya kita bertanggung jawab atas kemajuan desa kita.
Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk buat desa kita maju?
Sederhana. Jika Anda punya uang, kirimkan ke desa Anda melalui keluarga Anda agar uang yang beredar di desa meningkat. Atau investasilah disana. Biayai usaha keluarga Anda entah itu membuat kerajinan, membuka warung  dsb.
Jika Anda punya jaringan yang luas, pasarkan hasil desa Anda, atau carilah investor untuk desa Anda.
Jika Anda punya pengetahuan dan keahlian, berkunjunglah ke desa Anda lalu bagikan pengetahuan Anda. Sederhana bukan?
Jadi untuk membangun desa Anda tidak perlu melakukan hal yang muluk-muluk. Cukup membagikan Anda yang Anda miliki tanpa harus menunggu campur tangan pemerintah (@anwaradnan)

Mengapa Saya Mendukung Bapak Jokowi Walau Harus "Melepas Baju"


http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/889093/big/081547600_1432962421-IMG-20150530-WA002__1_.jpg
Suatu kali saya pernah bertanya, mengapa  Anda mendukung Bapak Jokowi sebagai presiden?
Tentu pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, karena saya dianggap orang kuning dan bukan orang  merah. Kedua, bukankah Bapak Jokowi hanya seorang mantan seorang Walikota yang dalam struktur pemerintahan lebih rendah posisinya dari seorang Gubernur.
Tapi dalam konteks kehadiran Bapak Jokowi, saya menyadarinya sebagai sebuah  perubahan dalam kepemimpinan Indonesia. Selama lebih dari 3 dekade, bahkan lebih, Indonesia berada di bawah kepemimpinan tokoh militer. Saya harus akui bahwa sosok militer disukai karena ketegasannya, kemampuannya dalam mengorganisir, mampu mengambil keputusan cepat dan nasionalismenya tidak perlu diragukan karena para pemimpin militer telah didoktrin sebagai para pembela negara. Dan begitu juga kesan yang ada di dalam benak masyarakat Indonesia.
Namun dengan berkembangnya waktu rakyat Indonesia mengalami banalitas terhadap atribut-atribut kepemimpinan. Masyarakat Indonesia mengalami dinamika preferensi. Terutama saat banyak pemimpin yang menampilkan diri sebagai pribadi yang penuh kharisma, kewibawaan lalu gagal memimpin sebuah daerah dan tidak jarang  berakhir di tempat yang tidak seharusnya. Pola pembangunan ekonomi dari para pemimpin ala aristokrat kemudian juga dirasa kurang memberikan perhatian pada sisi manusiawi. Pembangunan hanya bernilai fisik dan angka.
Orang Indonesia mulai berpikir realistis untuk tidak lagi bermimpi untuk memiliki seorang “raja”, atau seorang dewa dari khayangan dengan segala kemegahannya. dininabobokkan dengan dongeng raja dan permainsuri yang cantik. Masyarakat Indonesia mulai mengharapkan kehadiran seorang pemimpin yang mengambil wajah rakyat jelata. Seorang pemimpin yang bukan memisahkan melainkan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, dan merepresentasikannya.
Sehingga  pemimpin Indonesia tidak sekedar sosok yang merakyat melainkan juga menjadi pemimpin yang mampu membangun manusia yang bermartabat

Dalam konteks demikian Bapak Jokowi kemudian hadirLalu menawarkan diri sebagai sosok pemimpin yang pure human.
Ia bersahaja? Ya.
Ia merakyat? Ya.
Ia tegas? Ya.  

Ia melakukan perubahan? Ya.  

Ia mengambil keputusan secara cepat? Tentu saja

Dan kebijakannya memberikan ruang yang luas pada sisi manusia sebagaimana ia buktikan ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Khalayak yang sudah nyaman dengan kemiskinan ia pindahkan dari kawasan kumuh meskipun dengan penolakan. Namun mereka dimanusiakan dengan menempati pemukiman yang layak dan tidak lagi menghirup bau amis dari air yang bersumber dari pinggir sungai atau waduk.

Lebaran Sosiologis dan Lebaran Spiritual



http://ehookcrook.com/wp-content/uploads/2015/09/Download_Eid_Mubarak_Images_HD_20151.jpg
Setiap orang dewasa memiliki pengalaman lebaran yang penuh makna. Ya, saya masih bisa mengingat bagaimana saya merasakan kegembiraan saat merayakan lebaran. Ada makan yang lezat. Bercengkrama bersama sanak saudara.  Ini adalah memori masa lalu yang saya yakin tersimpan dengan rapi dalam alam bawah sadar setiap orang yang merayakan lebaran setiap tahunnya, sehingga hari penuh suka cita tersebut selalu dinanti dengan penuh kegembiraan.
Dahulu pengalaman ini saya anggap sesuatu yang biasa. Namun ketika saya beranjak dewasa bahkan menjadi sepuh, keinginan mengalami pengalaman lebaran yang penuh kebahagiaan semakin besar. Momen tersebut menjadi sangat bermakna. Waktu yang paling berharga adalah saat bisa berkumpul bersama keluarga. Apalagi dengan kesibukan saya sebagai pejabat negara waktu bersama keluarga menjadi sangat langka.
Bagi saya lebaran adalah sesuatu yang indah ketika seolah melahirkan kegembiraan yang sama seperti saat ayah saya memberikan pakaian baru, sepupu saya dari jauh hadir dan kami menghabiskan waktu bermain di pinggir pantai serta pengalaman tak terlupakan mendapatkan hadiah dari sanak saudara. Sesuatu yang telah terjadi puluhan tahun yang lalu, Pengalaman yang kini seolah hadir kembali dalam kesadaran saya bahkan ketika saya telah menjadi ayah atau kakek.
Itu hal yan dialami jutaan penduduk Indonesia dan menjadi alasan mengapa mereka bersedia berjuang menghadapi kemacaten, menembus kepadatan manusia sekedar bisa berkumpul bersama keluarga. Tidak lain merasakan kembali kebahagian itu .   Hanya orang yang tidak mengalami masa kecil yang indah dan pengalaman lebaran yang membekas yang tidak merasa perlu merayakan hari istimewa ini. Dan inilah makna sosiologis serta psikologis dan lebaran.

H. Anwar Adnan & Keluarga, berserta Tim Anwar Adnan Foundation mengucapkan

http://www.solusigrafika.com/image-upload/Lebaran-2013.jpg

Beruntunglah Indonesia Masih Punya Desa



http://sinarharapan.net/wp-content/uploads/2016/04/desa-sejahtera-mandiri.jpg
Saya kadang, setiap kali melihat kota yang maju di Jawa atau di luar negeri, mendadak punya ide untuk menjadikan desa mendadak berwajah kota.  Bangun hotel mewah, perumahan atau juga industri. Biar telihat desa di Sulbar maju.
Namun baru-baru ini saya menyaksikan tayangan "Vice",  film dokumenter yang memberikan kritik sosial di stasiun jaringan Fox, yang menggambarkan bagaimana India saat ini kesulitan mencari air bersih. Wajah kota yang saya saksikan begitu menyuramkan. Sanitasi mengerikan. Sungai begitu kotornya. Got-got tidak hanya menyalurkan limbah rumah tangga namun juga menggantikan fungsi septic tank.
Pada acara yang sama di kesempatan yang berbeda saya juga menyaksikan bagaimana modernitas di sektor pertanian telah memberikan dampak lingkungan yang buruk. Produk makanan  yang dihasilkan memiliki dampak buruk terhadap kesehatan. Acara tersebut menyanjung bagaimana pertanian organik adalah sesuatu pilihan.
Sementara setiap kali saya berkunjung ke Eropa, mereka berusaha mempertahankan bangunan  tua mereka. Sehingga masyarakatnya serasa masih hidup 100 tahun silam. Mereka tidak ingin bergerak terlalu cepat. Suatu kali saya bertanya seorang warga, lalu ia menjawab bahwa bangunan ini mempertahankan memori masa lalu mereka tentang Eropa yang harmonis,  lebih manusiawi. “Saat ini kami menghabiskan waktu kami untuk bekerja dan bekerja”.

Siaran Pers: Indonesia Krisis Kopi



https://pgcpsmess.files.wordpress.com/2014/03/coffee20cherries20at20monte20alegre.jpg
Indonesia pernah berjaya menjadi salah satu produsen kopi terbaik di dunia. Dan pada  zaman Belanda menjadi penghasil kopi terbesar di dunia. Hanya saja posisi Indonesia terus melorot dan bahkan hingga hanya menjadi produsen kopi terbesar ketiga yang digeser oleh Vietnam yang belakangan mengembangkan kopi.  
Menurut kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bener Meriah, Ahmad Ready saat ini terjadi tren penurunan produktivitas kopi rakyat. Hal ini karena sebagian besar kopi di Aceh sudah tua dan melewati umur produktifnya. Saat ini tercatat luas kopi di Bener Meriah mencapai 46 ribu dimana 50 persen diantaranya merupakan tanaman tua “Selain itu hama bubuk buah menjadi momok buat petani dan juga jamur akar putih”, kata
Hal ini sudah mulai dirasakan oleh eksportir kopi yang selama ini mengantungkan supply dari wilayah Aceh dan Sumatera Utara. “Saat ini ekspotir kesulitan untuk bisa memenuhi kontraknya sekitar 100 kontainer, sekitar 2000 ton”, katanya. Padahal Bener Bener meriah dikenal sebagai daerah penghasil kopi terbaik  di dunia.
Pendapat senada juga disampaikan Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno. “Saat ini di Sumatera Barat mayoritas tanaman kopi telah  berumur di atas 15 tahun dan beberapa diantaranya tidak terawat dengan baik. Sehingga produktivitasnya kurang dari 600 kg/ha/tahun. Selain itu kondisi lahan juga semakin berkurang kesuburannya karena dieksplotasi tarus menerus tanpa adanya upaya konservasi lahan”, katanya.
Ia mengkhawatirkan bahwa produksi ini akan terus mengalami penurunan jika tidak adanya upaya penyelamatan kopi rakyat.
Sementara Gubenur NTT, Frans Lebu Raya, mengeluhkan kondisi yang sama. Produksi perkebunan kopi rakyat di NTT cenderung menurun setiap tahunnya karena sudah  berumur tua. “Jika tidak diselamatnya maka produksi kopi kita akan menurun dan posisi Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ketiga bukan tidak mungkin merosot terus, seperti yang terjadi pada berbagai komoditas perkebunan lainnya”, katanya.

Petani Kakao dan Teroris


https://www.nasionalisme.co/wp-content/uploads/2014/05/petani-kakao.jpg

Kita mungkin miris melihat apa yang terjadi di Sarinah beberapa waktu yang lalu. Sekelompok orang sengaja berada di tempat yang cukup ramai tersebut untuk menghabisi nyawa orang lain yang tidak berdosa. Beruntung petugas keamanan mampu mengatasi aksi mereka sehingga tidak banyak korban yang berjatuhan.
Hanya yang menarik adalah siapakah mereka itu? Tentu saja mereka orang Indonesia, lahir di tanah tercinta ini. Namun karena sebuah ideologi yang salah mereka memilih untuk mengorbankan hidup mereka demi menciptakan teror dengan menjadikan manusia yang memiliki wajah serta kulit yang sama. Dan menggunakan bahasa yang sama dengan dia.
Lalu pertanyaannya mengapa orang-orang seperti ini muncul? Menurut pendapat saya bahwa hanya orang yang kehilangan harapan akan hidup yang lebih baik serta memiliki wawasan yang sempit dapat dijadikan seorang teroris.
Sehingga dengan asumsi demikian maka petani kakao mustahil menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Mengapa demikian?

Pengembangan Pertanian Berbasis Bisnis



http://cdnau.ibtimes.com/sites/au.ibtimes.com/files/2015/01/30/cocoa-plantation.jpg
Pada tahun 2015 yang pemerintah mengalokasikan APBN P sebesar Rp 32,813 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan pada upaya peningkatkan produksi pangan serta beberapa komoditas andalan seperti kakao dan kopi. Tentu ini adalah bukti dari komitmen pemerintah untuk meraih swasembada pangan. Adapun anggaran tersebut sebagian berupa pengadaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, pestisida, alat pertanian seperti traktor, perbaikan irigasi, dsb, yang pelaksanannya diserahkan kepada pemerintah daerah.
Kegiatan ini tentu saja akan memberikan dampak yang signifikan kepada peningkatkan produksi petani karena adanya perbaikan bahan tanam, adanya penggunaan pupuk yang bermutu serta kegiatan pengendalian hama dan jaminan ketersediaan air. Hanya saja ke depan tekanan terhadap pertanian semakin besar, kebutuhan sektor lain terhadap APBN meningkat. Apakah pemerintah akan tetap melakukan kebijakan alokasi anggaran untuk peningkatkan swasembada pangan  Namun bagaimana jika ke depannya hal ini tidak dapat dipertahankan lalu terobosan apa yang bisa kita lakukan?
Tantangan Pertanian Kedepan
Tentu ini perlu menjadi pertanyaan, mengingat laju peningkatkan APBN tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Beruntung pada tahun ini kita memiliki anggaran yang berasal dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan kepada berbagai kegiatan produktif yang ditenggarai adanya penurunan harga minyak bumi dunia.
Namun bagaimana jika kemudian anggaran APBN tidak lagi sefleksibel saat ini ketika harga dunia melonjak tinggi, ketika kebutuhan akan berbagai subsidi mulai dari BBM, listrik dsb juga turut meningkat. Belum lagi terjadi trand peningkatan biaya untuk meningkatkan atau mempertahankan produksi petanian. Hal ini diakibatkan antara lain terjadinya kerusakan lahan akibat eksploitasi terus menerus tanpa memperhatikan konservasi lahan, dampaknya untuk meningkatkan produksi maka kebutuhan pupuk semakin besar per ha. Sementara harga sarana produksi seperti pupuk, benih cenderung meningkat setiap tahunnya demikian juga biaya tenaga kerja.

Bangun Desa: Jangan Lupa Ciptakan Pusat Pertumbuhan !



http://www.mysultra.com/wp-content/uploads/2016/04/Kampung-Cokelat-di-Kolaka1.jpg
“Bagaimana cara cerdik membangun desa, sih, pak?”,  tanya  seorang wartawan kepada saya sembari menyantap gorengan di atas meja kerja saya.
“Well ciptakan pusat pertumbuhan”, kata saya sambil mengambil pisang goreng yang  tersisa.
“Seperti apa pak?”
“Ada, deh”, jawab saya sembari tersenyum.
Kali ini saya mau bagi rahasianya membangun desa dengan modal kecil. Kata kuncinya ciptakan pusat pertumbuhan.
Banyak pemimpin daerah mengartikan pengembangan ekonomi kampung semata-mata mengembangkan industri yang kelihatannya menguntungkan. Entah itu tambang, perkebunan kelapa sawit atau industri padat modal.
Tapi saya tidak sependapat. Apa yang seharusnya dikembangkan adalah yang sesuai dengan basis ekonomi masyarakat. Jika di sebuah desa masyarakatnya banyak yang menanam tomat, maka jadikan daerah itu sebagai cluster tomat, lengkap dengan pengolahan, gudang, agrowisata serta industri rumah tangga.