Pengembangan Pertanian Berbasis Bisnis



http://cdnau.ibtimes.com/sites/au.ibtimes.com/files/2015/01/30/cocoa-plantation.jpg
Pada tahun 2015 yang pemerintah mengalokasikan APBN P sebesar Rp 32,813 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan pada upaya peningkatkan produksi pangan serta beberapa komoditas andalan seperti kakao dan kopi. Tentu ini adalah bukti dari komitmen pemerintah untuk meraih swasembada pangan. Adapun anggaran tersebut sebagian berupa pengadaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, pestisida, alat pertanian seperti traktor, perbaikan irigasi, dsb, yang pelaksanannya diserahkan kepada pemerintah daerah.
Kegiatan ini tentu saja akan memberikan dampak yang signifikan kepada peningkatkan produksi petani karena adanya perbaikan bahan tanam, adanya penggunaan pupuk yang bermutu serta kegiatan pengendalian hama dan jaminan ketersediaan air. Hanya saja ke depan tekanan terhadap pertanian semakin besar, kebutuhan sektor lain terhadap APBN meningkat. Apakah pemerintah akan tetap melakukan kebijakan alokasi anggaran untuk peningkatkan swasembada pangan  Namun bagaimana jika ke depannya hal ini tidak dapat dipertahankan lalu terobosan apa yang bisa kita lakukan?
Tantangan Pertanian Kedepan
Tentu ini perlu menjadi pertanyaan, mengingat laju peningkatkan APBN tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Beruntung pada tahun ini kita memiliki anggaran yang berasal dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan kepada berbagai kegiatan produktif yang ditenggarai adanya penurunan harga minyak bumi dunia.
Namun bagaimana jika kemudian anggaran APBN tidak lagi sefleksibel saat ini ketika harga dunia melonjak tinggi, ketika kebutuhan akan berbagai subsidi mulai dari BBM, listrik dsb juga turut meningkat. Belum lagi terjadi trand peningkatan biaya untuk meningkatkan atau mempertahankan produksi petanian. Hal ini diakibatkan antara lain terjadinya kerusakan lahan akibat eksploitasi terus menerus tanpa memperhatikan konservasi lahan, dampaknya untuk meningkatkan produksi maka kebutuhan pupuk semakin besar per ha. Sementara harga sarana produksi seperti pupuk, benih cenderung meningkat setiap tahunnya demikian juga biaya tenaga kerja.

Sementara dari sisi harga gabah, petani sering mengeluhkan fluktuatif harga dan semakin turunnya profit yang dapat diterima oleh petani. Apalagi terdapat kecenderungan peningkatan harga dan penurunan produksi akibat menurunya kesuburan lahan. Itu sebabnya di sejumlah daerah terdapat laju konversi lahan sawah ketika sektor ini tidak lagi menjanjikan. Apalagi pada petani yang memiliki luasan kurang dari 1 ha yang membuatnya sulit mencapai skala ekonomi dan membuat aktivitas produksinya menjadi tidak efisien.
Jika pemerintah berupaya untuk terus mempertahankan produksi nasional atau meningkatkan maka akan membutuhkan peningkatkan alokasi anggaran setiap tahunnya sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap APBN. Padahal pada prinsipnya bantuan  yang dialokasikan kepada masyarakan bertujuan untuk membangun sebuah pertanian yang berkelanjuntan dan kemandirian petani.
Membangun Agropolitan
Saat ini mindset bahwa ketika simbol kemanjuan adalah suatu daerah berkembang menjadi daerah industri dan jasa. Sehingga banyak daerah yang berusaha mengenjot tumbuhnya pusat-pusat industri, pusat perbelanjaan. Padahal sangat dimungkinkan memanjukan daerah melalui pertanian.
Tentu dalam hal ini bukan pertanian seperti yang ada saat ini yang masih bersifat subsisten, atau yang belum berkembang ke arah pertanian modern. Namun menjadi sebuah kawasan pertanian berbasis agropolitan. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat  kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan  pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Dalam konsep ini saya membayangkan lahan pertanian tidak sekedar menghasilkan gabah, namun pada suatu kawasan agropolitan terdapat kegiatan penggilingan, pengemasan, dan terus berlanjut hingga pada grading dan sortasi serta berkembangnya agroindustri seperti industri nasi instan kemasasan, atau industri pakan ternak memanfaatkan limbah menjadi produk bermanfaat. Sementara daerah-daerah pertanian juga dapat dikembangkan menjadi kawasan agrowisata, dimana para wisatawan dapat melihat indahnya suasana pedesaan serta dapat menyaksikan proses pengolahan beras dari gabah.
Sementara konsep integrated farming, corporate farming, terminal agribisnis di Thailand, pertanian kolektif di Australia Barat, one village one product (OVOP) movement di Jepang, one tambon one product (OTOP) di Thailand, one town one product (OTOP) di Filipina, agropolitan di Sabah Malaysia dan Jinju City Korea Selatan, merupakan konsep-konsep pembangunan kawasan berbasis agribisnis yang telah diimplementasikan. Sehingga hal ini membuktikan bahwa agropolitan tidak secara teoritis menarik namun sesuatu yang dapat diwujudkan.
Saat sebuah daerah berbasis agropolitan maka apa yang dirasakan masyarakat tidak berbeda dengan daerah industri yakni peningkatan pendapatan masyarakat, pengembangan wilayah dan peningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang nanti dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu fasilitas pendidikan, kesehatan dsb sehingga dapat meningkatkan mutu sumber daya di daerah.
Hanya saat ini upaya pengembangan agropolitan masih terbatas. Sementara yang pemerintah lakukan adalah mendorong kegiatan pertanian subsistem atau tradisional agar berproduksi tinggi yang dampaknya adalah sebuah kegiatan pertanian yang high cost.
Oleh sebab itu menurut saya bahwa pengalokasikan anggaran yang cukup besar tersebut harus dilakukan tidak semata-mata memberikan bantuan sarana produksi, yang dampaknya hanya dirasakan pada satu siklup tanaman, namun untuk sebuah manfaat berkelanjutan. Oleh sebab itu bantuan tersebut harus dalam konteks pembangunan agropolitan.
Selain itu ketika daerah telah memiliki sebuah paradigma yang baru, bahwa agropolitan dapat menjadi salah satu strategi pengembangan daerah maka dampaknya adalah kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap sektor pertanian. Tidak yang terjadi saat ini, ada banyak pemimimpin daerah yang dapat memberikan izin para investor untuk membangun pabrik dengan mengorbankan lahan-lahan pertanian produktif.  Meskipun pada kesempatan lain sang pemimpin daerah menganggung-agungkan sektor pertanian dan ingin mendukung swasasembada pangan.
Membangun Agribisnis
Lalu pertanyaannya mengapa pertanian kita tidak berkembang dari pertanian subsisten ke arah modern?
Alasannya sederhana karena pertanian Indonesia tidak terterpa secara langsung pasar yang sesungguhnya. Bagi pasar bagi mereka adalah para pengumpul lokal serta pedagang lokal. Mereka tidak mampu melihat pasar dalam arti global. Bahwa petani sawah di Bali tidak mengetahui bahwa ada sekelompok masyarakat yang membutuhkan padi organik. Mereka juga tidak mengetahui penggunaan kemasan dan higienis dapat meningkatkan meningkatkan nilai tambah.
Sementara ketika kita memperkenalkan sebuah teknologi kepada petani, entah itu pupuk, pestisida, penggunaan benih bermutu dan aplikasi lainnya seluruhnya membutuhkan cost. Ketika petani tidak mendapatkan insentif terhadap implementasi tersebut maka petani tidak akan secara suka rela menerapkannya, dan hanya akan menggunakan jika ada bantuan.
Itu sebabnya dalam berbagai kondisi, petani hanya menggunakan pupuk dan pestisida ketika ada bantuan. Ketika tidak ada maka mereka kembali pada pola pertanian tradisional yang berbiaya murah, dampaknhya produksi seringkali menurun pasca tidak ada lagi bantuan.
Tentu ini bukan kondisi yang kita harapkan. Bagaimanapun bantuan pemerintah itu bersifat sementara, dan harus mampu membangun kemandirian dan bukan ketergantungan. Itu sebabnya dalam pengembangan pertanian khususnya pengembangan swasembada pangan harus berorientasi membangun sebuah agribisnis. Sebuah pertanian yang terintegrasi dengan pasar.
Oleh sebab itu petani tidak hanya perlu mendapatkan bantuna sarana produksi semata yang dapat menciptakan sebuah ketergantungan bahkan menurut saya “candu”, namun juga mendapatkan bimbingan tentang pasar, entrepreneur. Serta mendorong investor untuk menjadi mitra kepada petani.
Sebab itu kita tidak dapat terus menopang pertanian kita dengan mengharapkan bantuan pemerintah. Kita tidak dapat secara terus menerus menopang sebuah kegiatan ekonomi yang tidak ekonomis namun pemerintah dapat melindungi petani terhadap dampak dari fluktuasi harga yang tidak dapat dikendalikan petani. Untuk mendorong petnai untuk meningkatkan efisiensinya adalah dengan memperkenalkan inovasi dan pembinaan, seperti yang telah dilakukan selama ini. Namun menurut hemat saya ini tidak cukup. Kita harus menilai sebuah aktivitas pertanian pangan adalah sebuah bisnis dimana petani mengharapkan penghidupan yang lebih baik daripadanya dan membuat kehidupannyanya menjadi lebih bermartabat.
Dalam kaitan tersebut pemerintah perlu meningkatkan keterkitan pertanian pangan dengan pasar global yang membukakan petani akan potensinya memperoleh nilai tambah dengan memenuhi kebutuhan konsumen. Hal ini juga dapat diwujudkan melalui upaya kemitraan dan pembanguna networking serta pengembangan agropolitan. Menurut pendapat saya ini tidak cukup hanya dengan sebuah himbuan namun sebuah regulasi yang mendorong industri atau perusahaan bersedia turut serta berkontribusi membangun agropolitan atau pertanian berorientasi bisnis (@anwaradnan).

No comments:

Post a Comment