Membangun Pertanian Ala Mie Instant

 

Apa yang nikmat dari mie instant. Aromanya menggoda. Cepat diseduh. Cepat mengenyangkan. Hanya saja jika dikonsumsi secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan. Sehingga  menikmati mie instant hanya disarankan untuk sesekali atau menjadi penganjal perut yang sedang lapar. Tentu saja apa saja yang sifatnya instant terlihat menggairahkan namun tidak selalu sebaik apa yang terlihat.

Sepiring nasi rames tentu saja lebih menyehatkan daripada semangkuk mie instant. Dan, segelas kopi specialty yang digiling dari biji kopi terbaik akan lebih nikmat daripada kopi instant. Hanya  membuat nasi rames dan membuat segelas kopi specialty terbaik membutuhkan waktu dan keahlian.

Ternyata virus instanisasi tidak hanya menjangkiti berbagai makanan yang kita santap. Namun, juga seringkali juga menyebar hingga pada pola pikir kita dalam membangun pertanian khususnya untuk meraih kedaulatan pangan.

Mari kita lihat apa yang dilakukan Kementerian Pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan. Berdasarkan data dari Departemen Keuangan menunjukkan jika alokasi anggaran untuk ketahanan pangan pada tahun 2015 mencapai 32,8 Trilyun. Untuk tahun 2016 dari anggaran Kementan mencapai 31,5 Trilyun sebagian besar digunakan untuk ketahanan pangan. Bahkan baru-baru ini dilakukan refocusing senilai Rp 4,3 triliun terhadap pagu anggaran tersebut untuk efisiensi dan efektifitas program kedaulatan tangan, termasuk juga anggaran untuk kegiatan pengembangan perkebunan.

Menteri Pertanian meyakini bahwa alokasi anggaran yang besar di Kementeriannya telah memberikan dampak yang nyata, berupa peningkatkan produksi pertanian nasional, realisasi perbaikan jaringan irigasi tersier yang mencapai 2,48 juta ha meningkat 458 persen dibanding tahun 2014. Realisasi bantuan alsintan mencapai 65.431 unit, meningkat 443,6 persen dibanding tahun 2014. Serta realisasi optimasi lahan mencapai 945.000 ha atau meningkat 561,9 persen dibanding tahun 2014. Berdasarkan ARAM ll BPS 2015, seluruh komoditas pangan (padi, jagung, kedelai, gula, daging sapikerbau, cabai, bawang merah) mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2014.  Pada tahun 2015, produksi padi mencapai 74,99 juta ton GKG meningkat 5,85 persen dibanding 2014, jagung 19,83 juta ton meningkat 4,34 persen dibanding 2014 dan kedelai 983 ribu ton meningkat 2,93 persen dibanding 2014 (kontan, 2016). Sehingga kebijakan yang dilakukan Kementerian Pertanian sepertinya sudah tetap sasaran.

Instanisasi Pertanian

Mari kita kaji apakah upaya pemerintah telah berhasil menyelesaikan masalah fundamental pertanian? Apa yang dilakukan pemerintah saat ini melalui Kementerian Pertanian adalah interverensi terhadap usaha budidaya demi meraih produktivitas yang tinggi. Benih disiapkan. Pupuk subsidi tersedia. Irigasi diperbaiki. Menurut saya ini adalah sebuah inisiatif yang positif. Terutama untuk perbaikan irigasi, saya sangat mengapresiasi bahwa ini salah satu upaya strategis pemerintah untuk memastikan lahan petani bisa mendapatkan asupan air secara mencukupi.

Namun bagaimana dengan masalah lainnya? Persoalannya bukan karena petani enggan menggunakan benih, pupuk dan sarana pertanian. Bukan juga karena petani tidak adaptif terhadap inovasi. Hanya saja terdapat sejumlah persoalan membatasi akses petani kesulitan terhadap sarana produksi yang bermutu, antara lain.

Pertama masalah keterbatasan terhadap permodalan. Tanpa adanya bantuan dari pemerintah maka mustahil petani dapat mengakses sarana produksi.

Kedua, masalah tata niaga. Adapun terdapat dispiritas harga di tingkat petani dengan di tingkat konsumen karena tata niaga yang masih cukup panjang. Sehingga petani tidak bisa melakukan saving yang ia gunakan untuk membiayai aktivitas di on farm. Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan bahwa disparitas harga beras di tingkat petani dan di tingkat konsumen di Tanah Air cenderung tidak wajar. Dengan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di tingkat petani Rp 3.700 per kilogram (kg) untuk gabah kering panen (GKP) maka ketika dikonversi dan ditambah biaya olah menjadi Rp 6.359 per kg beras. Namun, yang terjadi saat ini konsumen ternyata harus membayar Rp 10.172 untuk setiap 1 kg beras (beritasatu.com ).

Sementara masalah di tingkat on farm semakin kompleks. Untuk mendapatkan tingkat produktivitas yang sama membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi. Hal ini diakibatkan kerusakan lahan dampak eksplorasi selama bertahun-tahun tanpa memperhatikan konservasi lahan. Di sisi lain laju konversi terhadap lahan pertanian juga cenderung meningkat setiap tahunnya.

Lalu bagaimana cara menyelesaikan berbagai masalah fundamental tersebut?

Menurut saya tidak bisa semata-mata dengan memberikan bantuan sarana produksi. Alokasi anggaran yang begitu besar untuk ketahanan pangan seolah memberikan angin segar bahwa semua masalah fundamental pertanian terselesaikan, dengan hasil petani sejahtera, produksi meningkat dan masyarakat bisa mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Namun menurut hemat saya tidak menyelesaikan masalah fundamental, dan lebih pada pendekatan yang bersifat instant. Mengapa saya katakana instant karena hanya merupakan penyelesaian jangka pendek.

Produksi meningkat? Ya.

Namun apakah peningkatkan itu akan berkelanjutan ketika kelak pemerintah mengurangi subsidi? Ini adalah pertanyaan dasar. Menurut saya apa yang dilakukan pemerintah adalah instanisasi kebijakan pertanian. Sekedar memberikan efek wow, terlihat sukses meningkatkan produksi pangan, namun tidak berkelanjutan karena setelah pemerintah tidak lagi mampu memberikan bantuan, maka bibit, pupuk, pestisida dan kredit kembali sulit diperoleh.

Apa yang Seharusnya Dilakukan

Apa yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki irigasi menurut hemat saya adalah langkah strategis dan memberikan efek jangka panjang karena memastikan jutaan ha sawah teraliri air. Tentu harapan saya focus pemerintah adalah melakukan langkah-langkah strategis semacam itu.

Untuk sarana produksi saya berharap petani tidak saja bisa mendapatkan ketika ada alokasi anggaran. Namun petani bisa dengan mudah mengakses saat ia membutuhkan dengan harga yang disubsidi demikian juga dengan pupuk dan sarana produksi lainnya. Hal ini bisa diawali dengan pengembangan kelembagaan petani yang kuat berbasis koperasi. Dimana penyediaan sarana produksi dikelola oleh koperasi dimaan pemerintah bisa menanamkan dana bergulir atau mengandalkan dana miliki petani yang dikumpulkan pasca kenaikan pendapatan dampak kenaikan produksi. Atau pemerintah bisa membangun toko-toko pertanian bersubsidi yang ada pada sentra-sentra pertanian dimana petani bisa mendapatkan sarana produksi dengan system kredit atau dipotong saat petani hasil kebunnya.

Sementara pada setiap desa terdapat lembaga-lembaga penyuluhan yang dengan tanggung jawab untuk radius atau luasan yang dibatasi. Para penyuluh ini tinggal di lokasi petani dan bertanggung jawab terhadap peningkatan produksi di wilayah binaannya. Sementara penyuluh yang ada tidak fokus pada satu tempat, dan jumlah binaanya sangat luas sehingga tidak efektif.

Di sisi lain harus pemerintah membangun lembaga keuangan yang siap menyalurkan kredit kepada petani dengan persyaratan yang ringan. Tentu saja dengan pemerintah sebagai penjamin. Atau dengan memperkuat koperasi yang nantinya bisa menjadi lembaga keuangan di pertanian.

Pendekatan Sistem

Beberapa waktu lalu Menteri Pertanian mencoba mengatasi masalah disparitas harga dengan cara membeli bawang dari Sembawa dan Brebes, lalu dijual ke Toko Tani Indonesia. Menurut menteri ini adalah cara untuk menurunkan harga di tingkat konsumen. Hanya sekali lagi ini adalah cara instant. Bahwa cara tersebut adalah cara jangka pendek namun tidak untuk menyelesaikan masalah dasar yakni rantai pemasaran yang panjang.

Hal yang menurut saya menggelikan adalah ketika mendapati karyawan Kementerian Pertanian berjualan bawang. Mengapa? Karena seharusnya tugas Kementan adalah menyusun regulasi agar terbangun system yang memastikan ketahanan pangan dapat diraih. Tentunya lagi-lagi saya menganggap ini adalah bentuk instanisasi kebijakan pertanian, sekedar melakukan aksi untuk menyelesaikan persoalan dalam jangka pendek.

Menurut hemat saya yang harus dibangun oleh Kementerian Pertanian adalah regulasi agar tata niaga pangan menjadi lebih sehat, terbangunnya kelembagaan petani yang kuat, serta membangun akses bagi petani terhadap sarana produksi, teknologi dan informasi. Saat ini Kementan berusaha menjadi ujung tombak terhadap upaya meraih kedaulatan pangan. Turun ke sawah sebagai simbol bekerja. Padahal sesungguhnya kinerja Kementan diukur bagaimana agar Dinas di tingkat Kabupaten berkinerja dan membina petani dengan baik, bagaimana agar kebijakan di pusat menggema hingga ke wilayah terujung di Indonesia, bagaimana agar SKPD daerah dapat bersinergi dan dapat dihadalkan mewujudkan swasembada pangan. Bagaimanapun Kementan adalah induk bagi Dinas di tingkat Provinsi dan Kebupaten untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai ekskutor kebijakan pusat di bidang pertanian. Dan bukan sebaliknya, Kementan menjadi eksekutor demi mewujudkan kebijakan instant (@anwaradnan).