Petani Kakao dan Teroris


https://www.nasionalisme.co/wp-content/uploads/2014/05/petani-kakao.jpg

Kita mungkin miris melihat apa yang terjadi di Sarinah beberapa waktu yang lalu. Sekelompok orang sengaja berada di tempat yang cukup ramai tersebut untuk menghabisi nyawa orang lain yang tidak berdosa. Beruntung petugas keamanan mampu mengatasi aksi mereka sehingga tidak banyak korban yang berjatuhan.
Hanya yang menarik adalah siapakah mereka itu? Tentu saja mereka orang Indonesia, lahir di tanah tercinta ini. Namun karena sebuah ideologi yang salah mereka memilih untuk mengorbankan hidup mereka demi menciptakan teror dengan menjadikan manusia yang memiliki wajah serta kulit yang sama. Dan menggunakan bahasa yang sama dengan dia.
Lalu pertanyaannya mengapa orang-orang seperti ini muncul? Menurut pendapat saya bahwa hanya orang yang kehilangan harapan akan hidup yang lebih baik serta memiliki wawasan yang sempit dapat dijadikan seorang teroris.
Sehingga dengan asumsi demikian maka petani kakao mustahil menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Mengapa demikian?

Adanya pengharapan
Meksipun petani kakao menghadapi berbagai masalah namun perkebunan kakao layak sebuah meja judi di Vegas. Sebuah kemenangan yang  tidak terduga dipastikan akan membuat seorang akan terus berusaha untuk menjatuhkan taruhannya.
Seorang petani kakao sering mendapatkan kejutan yang menggembirakan. Ada suatu masa mereka mendapatkan harga penjualan yang begitu mengejutkan. Akhir tahun yang lalu petani di Bali berhasil menjual biji kakao organiknya Rp. 42.000/kg, demikian juga petani di Kolaka berseri-seri setelah mendapatkan Rp. 35.000/kg.
Bagi petani, meskipun perkebunan kakao kaya akan resiko namun selalu ada harapan akan kejutan di masa depan. Harga dapat melejit dan mendadak menjadikan petani mendapatkan penghasilan yang mensejahterakan. Beberapa petani di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dengan pendapatan dari kakao bisa menunaikan ibadah ke tanah suci, membeli mobil mewah  dan menyekolahkan anak hingga sarjana.
Baginya, mengorbankan hidupnya terlalu buruk untuk kehidupan yang selalu penuh harapan. Sementara dalam kehidupan seorang terorisme, semuanya serba pesimistis. Mereka hidup dalam dunia yang tidak memberikan kegembiraan, semuanya adalah dajjal. Tidak ada harapan. Sehingga kehidupan penuh keindahan ada di dunia nanti.
Sementara petani kakao hidup lekat dengan alam. Sehingga mereka mampu melihat kebesaran Tuhan dari kehidupannya sehari-hari. Udara yang segar dan lembab. Kebun yang indah. Burung-burung yang bersarang di pohon kelapa yang menjadi penaung tanaman kakao. Ketika Tuhan itu begitu baik, sangat agung dalam kehidupannya yang lekat dengan alam dan pertanian maka rasanya mustahil Tuhan memberikan perintah untuk menghancurkan hal yang ia ciptakan, merusak tananan. Tuhan terlalu besar untuk dibela seorang terorisme ketika Sang Maha Kuasa mampu membuat sebuah tatanan yang harmonis terbentang dalam bentuk perkebunan kakao dan pemandangan yang melatarbelakanginya.
Adanya Relasi
Ketika kakao menjadi sebuah bahan baku untuk sebuah produk global membuat petani kakao beradal dalam lingkungan yang terbuka. Seorang petani kakao di Sulawesi sekali waktu akan bertemu dengan seorang asing yang ramah dan memberikan pengertahuan. Orang Bugis, petani kakao asal Polewali Mandar akan bermitra dengan seorang pedagang orang warga Tionghoa yang memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda.
Orang Tolaki berinteraksi dengan orang Toraja dalam tata niaga kakao. Lalu seorang dari Amerika melakukan tatap muka dengan petani kakao di Mamuju.
Ketika mereka berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang ras, suku dan agama maka akan memberikan persepsi yang lebih humanis dalam diri seorang petani kakao. Siapapun dan apapun sukunya dapat menjadi saudaranya yang memberikannya kehidupan.
Dengan berkebun  kakao menjadikan pekebun  membuka diri dengan berbagai perbedaan. Berbagai pemikiran dan ideologi. Mereka menjadi orang dengan pemikiran yang luas, sehingga wawasan  tersebut memberikan petani kakao untuk menilai berbagai ideologi yang menyebar secara kritis khususnya yang mendeskritkan kalangan yang berbeda dengan diri dan kelompoknya.
Ekonomi Pengharapan
Para terorisme adalah generasi muda Indonesia yang oleh karena sesuatu hal menyerap ideologi yang menyimpang. Dalam banyak hal pemikiran tersebut masuk ketika seseorang berada dalam kondisi inferior, terasing, kehilangan harapan.
Oleh sebab itu belajar dari petani kakao, manusia Indonesia tidak hanya membutuhkan sebuah gerakan deradikalisasi namun juga sebuah kondisi ekonomi yang memberikan pengharapan, kejutan dan martabat. Selain itu masyarakat Indonesia harus, melalui kegiatan ekonomi, terhubung satu sama lain dan membangun persepsinya. 
Pertanian perkebunan adalah salah satu solusi praktis. Sayangnya tidak semua berkembang menjadi sebuah usaha modern yang menjadikan produk pertanian sebagai komoditas global seperti kakao. ketika  pemerintah tetap memberikan perhatian kepada sektor pertanian, tidak semata-mata menjadi produk subsisten namun berorientasi pasar global maka ini akan membentuk masyarakat yang terbuka, memiliki wawasan luas dan berpengharapan.

No comments:

Post a Comment